pengunjung online

Rabu, 23 November 2011


Dia

Dia adalah Seseorang yang sangat aku sayangi dan aku cintai, seseorang yang selalu memendam permasalahan sendiri, selalu tampak tegar ditengah kerapuhannya. Selalu tersenyum ditengah kemarahannya, hal itu yang membuat aku sayang padanya, tetapi dia juga yang membuat aku terhanyut dalam kesedihan ini.
Dia bernama Andri, aku bertemu dengannya di sebuah acara kemahasiswaan, dia anak yang baik dan humoris, makanya gak heran dalam waktu singkat kami bisa berteman akrab, teman-temanku mengira kami pacaran dan mereka sangat mendukung. Aku hanya tersenyum geli melihat teman-teman ku menjahili dia, terfikir olehku apa benar yang mereka katakan. Tapi aku menepisnya, aku gak mau memikirkan hal itu, karena aku pernah bertekad untuk tidak pacaran sampai aku selesai kuliah dan aku berusaha menjaga itu.
Waktu terus berlalu, aku juga tak mengerti kapan rasa itu datang dan hinggap di hati ini, berawal saat kami bermain ke rumah Hilman, saat itu hilman mengajak ku keluar untuk membeli makanan, kami bercerita banyak hal sampai hilman menyinggung tentang Andri dan pacarnya, aku terperanjat sejenak, tapi cepat-cepat kusembunyikan rasa itu, aku kembali bercerita seolah-olah aku tau kalau dia sudah memiliki pacar, baru aku tersadar hatiku sakit mandengarkan cerita dari hilman.
Sepulang dari rumah hilman, aku lebih banyak diam begitu juga dengannya, dia marah karena aku terlalu lama pergi bersama hilman, tapi bukan itu yang ku pikirkan, aku memikirkan diriku, ada apa denganku, aku hanya temannya, mengapa aku cemburu dan sakit hati kalau dia memiliki pacar, mengapa tidak terpikirkan olehku kalau orang semanis dia pasti ada yang memiliki, dasar bego!. Aku tersenyum sendiri dikamar, mencoba untuk ceria, menganggap hal ini biasa dan pasti bisa ku atasi, aku bertekad pada diriku untuk menjadi teman yang baik, selalu ada disisinya saat suka dan duka. Semangat teriakku pagi itu.
Namun perasaan itu muncul kembali saat kami pergi makan di suatu café, disana dia mencurahkan semua isi hati yang selama ini di pendamnya, aku terkejut melihatnya menangis layaknya seorang anak kecil di hadapanku, belum pernah aku melihat dia seperti itu, tarnyata dibalik keceriaannya selama ini tersimpan luka yang sangat dalam, aku terharu ketika dia mengatakan percaya padaku, aku sangat sayang padanya tapi aku tak mungkin memilikinya.
Setelah kejadian itu dia lebih terbuka padaku tentang pacarnya yang selama ini dia tutupi, aku semakin mengerti bagaimana dirinya, makin memahami apa yang diinginkannya, harapku suatu hari dia memiliki seseorang yang benar-benar mengerti dirinya dan sayang padanya, walau hati ini hancur setiap kali mendengarkan dia bercerita tentang pacarnya. Akan tetapi yang tak ku mengerti, kerap kali dia mengatakan satu hal yang membangkitkan kembali perasaan ku, bahwa dia tak ingin melepaskanku karena aku telah menjadi sebagain dari dirinya, aku bingung, tapi aku juga gak punya nyali untuk bertanya kepadanya bagaimana perasaan dia terhadapku.
Sampai pada puncaknya aku tak kuat membendung perasaanku sendiri, aku mengatakan padanya kalau aku sayang padanya dan aku tau perasaan ini gak boleh terbina, aku hanya sekedar mengeluarkan uneg-uneg yang ada dalam hatiku, terserah dia menganggap apa yang penting hatiku lega, aku tidak akan membahas masalah ini lagi, karena aku berjanji akan selalu menjadi teman dan sahabat yang baik buatnya
Namun rasa sayang dan cinta sudah bersemi dalam hatiku, tak mudah untuk menepisnya, walau aku sudah berusaha, ternyata benar kata pepatah cinta itu datang tiba-tiba walau kita tidak menginginkannya, tapi setelah kita tau mengapa terasa sakit jadinya. Entah mengapa, setelah kejadian itu dia makin perhatian padaku, aku gak pernah tau apa maksudnya karena dia tak pernah mengatakannya padaku, yang aku tau dia memberikan perhatian lebih dari biasanya, seakan-akan menjawab semua pertanyaan tanpa harus diungkapkan, aku gak peduli aku hanya ingin menjalani apa yang aku jalani sekarang, tidak mau berfikir yang muluk-muluk tentang masa depan, apa yang terjadi antara aku dan dia biarlah berjalan seperti sekarang ini, tanpa kata-kata tapi saling mengerti dan memahami maksud satu dengan yang lain, walau entah sampai kapan hal ini akan berlanjut, akupun tak tau. Tapi biarlah kisah ini berjalan seiring dengan waktu yang kami pun tak pernah tau akhir dari semua ini, tapi aku tetap berharap semoga…….
(kira-kira endingnya gimana Ya….kasih commentnya ok…)
By: yeni

Gunung dan Cinta

Gunung dan Cinta
Ada sebuah kisah tentang seorang bocah sedang mendaki gunung bersama ayahnya.
Tiba-tiba si bocah tersandung akar pohon dan jatuh. “Aduhh!” jeritannya memecah keheningan suasana pegunungan. Si bocah amat terkejut, ketika ia mendengar suara di kejauhan menirukan teriakannya persis sama, “Aduhh!”.
Dasar anak-anak, ia berteriak lagi, “Hei! Siapa kau?”
Jawaban yang terdengar, “Hei! Siapa kau?”
Lantaran kesal mengetahui suaranya selalu ditirukan, si anak berseru, “Pengecut kamu!” Lagi-lagi ia terkejut ketika suara dari sana membalasnya dengan umpatan serupa.
Ia bertanya kepada sang ayah, “Apa yang terjadi?”
Dengan penuh kearifan sang ayah tersenyum, “Anakku, coba perhatikan.”
Kemudian Lelaki itu berkata keras, “Saya kagum padamu!”
Suara di kejauhan menjawab, Saya kagum padamu!”
Sekali lagi sang ayah berteriak “Kamu sang juara!”
Suara itu menjawab, “Kamu sang juara!”
Sang bocah sangat keheranan, meski demikian ia tetap belum mengerti. Lalu sang ayah menjelaskan, “Suara itu adalah gema, tapi sesungguhnya itulah kehidupan.” Kehidupan memberi umpan balik atas semua ucapan dan tindakanmu.
Dengan kata lain, kehidupan kita adalah sebuah pantulan atau bayangan atas tindakan kita. Bila kamu ingin mendapatkan lebih banyak cinta di dunia ini, ya ciptakan cinta di dalam hatimu. Bila kamu menginginkan tim kerjamu punya kemampuan tinggi, ya tingkatkan kemampuan itu. Hidup akan memberikan
kembali segala sesuatu yang telah kau berikan kepadanya.
Ingat, hidup bukan sebuah kebetulan tapi sebuah bayangan dirimu.

 Dewa Cinta Sedang Terlelap



Mataku melekat pada tetesan-tetesan air hujan yang turun, yang memukuli kaca tipis jendela kamarku. Suaranya berderap seperti bunyi hentakan sepatu prajurit yang tengah berbaris. Kuhirup nafas dalam-dalam. Aku senang jika hujan turun, karena aku sangat suka mencium aroma khas saat air hujan tengah beradu dengan tanah. Sangat tepat menggambarkan kesan kesendirian dan kesenduan. Kulemparkan ponselku [...]

Rabu, 16 November 2011

sang primadona



Sang Primadona




Apa yang harus aku lakukan? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing.
Apabila masalahku ini berlarut-larut dan aku tidak segera menemukan pemecahannya, aku khawatir akan berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan dan kegiatanku dalam masyarakat. Lebih-lebih terhadap dua permataku yang manis-manis: Gita dan Ragil.

Tapi agar jelas, biarlah aku ceritakan lebih dahulu dari awal.
Aku lahir dan tumbuh dalam keluarga yang -katakanlah-- kecukupan. Aku dianugerahi Tuhan wajah yang cukup cantik dan perawakan yang menawan. Sejak kecil aku sudah menjadi "primadona" keluarga. Kedua orang tuaku pun, meski tidak memanjakanku, sangat menyayangiku.

Di sekolah, mulai SD sampai dengan SMA, aku pun --alhamdulillah-juga disayangi guru-guru dan kawan-kawanku. Apalagi aku sering mewakili sekolah dalam perlombaan-perlombaan dan tidak jarang aku menjadi juara.

Ketika di SD aku pernah menjadi juara I lomba menari. Waktu SMP aku mendapat piala dalam lomba menyanyi. Bahkan ketika SMA aku pernah menjuarai lomba baca puisi tingkat provinsi.

Tapi sungguh, aku tidak pernah bermimpi akhirnya aku menjadi artis di ibu kota seperti sekarang ini. Cita-citaku dari kecil aku ingin menjadi pengacara yang di setiap persidangan menjadi bintang, seperti sering aku lihat dalam film. Ini gara-gara ketika aku baru beberapa semester kuliah, aku memenangkan lomba foto model. Lalu ditawari main sinetron dan akhirnya keasyikan main film. Kuliahku pun tidak berlanjut.

Seperti umumnya artis-artis popular di negeri ini, aku pun kemudian menjadi incaran perusahaan-perusahaan untuk pembuatan iklan; diminta menjadi presenter dalam acara-acara seremonial; menjadi host di tv-tv; malah tidak jarang diundang untuk presentasi dalam seminar-seminar bersama tokoh-tokoh cendekiawan. Yang terakhir ini, boleh jadi aku hanya dijadikan alat menarik peminat. Tapi apa rugiku? Asal aku diberi honor standar, aku tak peduli.

Soal kuliahku yang tidak berlanjut, aku menghibur diriku dengan mengatakan kepada diriku, "Ah, belajar kan tidak harus di bangku kuliah. Lagi pula orang kuliah ujung-ujungnya kan untuk mencari materi. Aku tidak menjadi pengacara dan bintang pengadilan, tak mengapa; bukankah kini aku sudah menjadi superbintang. Materi cukup."

Memang sebagai perempuan yang belum bersuami, aku cukup bangga dengan kehidupanku yang boleh dikata serba kecukupan. Aku sudah mampu membeli rumah sendiri yang cukup indah di kawasan elite. Ke mana-mana ada mobil yang siap mengantarku. Pendek kata aku bangga bisa menjadi perempuan yang mandiri. Tidak lagi bergantung kepada orang tua. Bahkan kini sedikit-banyak aku bisa membantu kehidupan ekonomi mereka di kampung. Sementara banyak kawan-kawanku yang sudah lulus kuliah, masih lontang-lantung mencari pekerjaan.

Kadang-kadang untuk sekadar menyenangkan orang tua, aku mengundang mereka dari kampung. Ibuku yang biasanya nyinyir mengomentari apa saja yang kulakukan dan menasehatiku ini-itu, kini tampak seperti sudah menganggapku benar-benar orang dewasa. Entah kenyataannya demikian atau hanya karena segan kepada anaknya yang kini sudah benar-benar hidup mandiri. Yang masih selalu ibu ingatkan, baik secara langsung atau melalui surat, ialah soal ibadah.

"Nduk, ibadah itu penting. Bagaimana pun sibukmu, salat jangan kamu abaikan!"

"Sempatkan membaca Quran yang pernah kau pelajari ketika di kampung dulu, agar tidak hilang."

"Bila kamu mempunyai rezeki lebih, jangan lupa bersedekah kepada fakir miskin dan anak yatim."

Ya, kalimat-kalimat semacam itulah yang masih sering beliau wiridkan. Mula-mula memang aku perhatikan; bahkan aku berusaha melaksanakan nasihat-nasihat itu, tapi dengan semakin meningkatnya volume kegiatanku, lama-lama aku justru risi dan menganggapnya angin lalu saja.

Sebagai artis tenar, tentu saja banyak orang yang mengidolakanku. Tapi ada seorang yang mengagumiku justru sebelum aku menjadi setenar sekarang ini. Tidak. Ia tidak sekadar mengidolakanku. Dia menyintaiku habis-habisan. Ini ia tunjukkan tidak hanya dengan hampir selalu hadir dalam even-even di mana aku tampil; ia juga setia menungguiku shoting film dan mengantarku pulang. Tidak itu saja. Hampir setiap hari, bila berjauhan, dia selalu telepon atau mengirim SMS yang seringkali hanya untuk menyatakan kangen.

Di antara mereka yang mengagumiku, lelaki yang satu ini memang memiliki kelebihan. Dia seorang pengusaha yang sukses. Masih muda, tampan, sopan, dan penuh perhatian. Pendek kata, akhirnya aku takluk di hadapan kegigihannya dan kesabarannya. Aku berhasil dipersuntingnya. Tidak perlu aku ceritakan betapa meriah pesta perkawinan kami ketika itu. Pers memberitakannya setiap hari hampir dua minggu penuh. Tentu saja yang paling bahagia adalah kedua orang tuaku yang memang sejak lama menghendaki aku segera mengakhiri masa lajangku yang menurut mereka mengkhawatirkan.

Begitulah, di awal-awal perkawinan, semua berjalan baik-baik saja. Setelah berbulan madu yang singkat, aku kembali menekuni kegiatanku seperti biasa. Suamiku pun tidak keberatan. Sampai akhirnya terjadi sesuatu yang benar-benar mengubah jalan hidupku.

Beberapa bulan setelah Ragil, anak keduaku, lahir, perusahaan suamiku bangkrut gara-gara krisis moneter. Kami, terutama suamiku, tidak siap menghadapi situasi yang memang tidak terduga ini. Dia begitu terpukul dan seperti kehilangan keseimbangan. Perangainya berubah sama sekali. Dia jadi pendiam dan gampang tersinggung. Bicaranya juga tidak seperti dulu, kini terasa sangat sinis dan kasar. Dia yang dulu jarang keluar malam, hampir setiap malam keluar dan baru pulang setelah dini hari. Entah apa saja yang dikerjakannya di luar sana. Beberapa kali kutanya dia selalu marah-marah, aku pun tak pernah lagi bertanya.

Untung, meskipun agak surut, aku masih terus mendapatkan kontrak pekerjaan. Sehingga, dengan sedikit menghemat, kebutuhan hidup sehari-hari tidak terlalu terganggu. Yang terganggu justru keharmonisan hubungan keluarga akibat perubahan perilaku suami. Sepertinya apa saja bisa menjadi masalah. Sepertinya apa saja yang aku lakukan, salah di mata suamiku. Sebaliknya menurutku justru dialah yang tak pernah melakukan hal-hal yang benar. Pertengkaran hampir terjadi setiap hari.

Mula-mula, aku mengalah. Aku tidak ingin anak-anak menyaksikan orang tua mereka bertengkar. Tapi lama-kelamaan aku tidak tahan. Dan anak-anak pun akhirnya sering mendengar teriakan-teriakan kasar dari mulut-mulut kedua orang tua mereka; sesuatu yang selama ini kami anggap tabu di rumah. Masya Allah. Aku tak bisa menahan tangisku setiap terbayang tatapan tak mengerti dari kedua anakku ketika menonton pertengkaran kedua orang tua mereka.

Sebenarnya sudah sering beberapa kawan sesama artis mengajakku mengikuti kegiatan yang mereka sebut sebagai pengajian atau siraman rohani. Mereka melaksanakan kegiatan itu secara rutin dan bertempat di rumah mereka secara bergilir. Tapi aku baru mulai tertarik bergabung dalam kegiatan ini setelah kemelut melanda rumah tanggaku. Apakah ini sekadar pelarian ataukah --mudah-mudahan-- memang merupakan hidayah Allah. Yang jelas aku merasa mendapatkan semacam kedamaian saat berada di tengah-tengah majelis pengajian. Ada sesuatu yang menyentuh kalbuku yang terdalam, baik ketika sang ustadz berbicara tentang kefanaan hidup di dunia ini dan kehidupan yang kekal kelak di akhirat, tentang kematian dan amal sebagai bekal, maupun ketika mengajak jamaah berdzikir.

Setelah itu, aku jadi sering merenung. Memikirkan tentang diriku sendiri dan kehidupanku. Aku tidak lagi melayani ajakan bertengkar suami. Atau tepatnya aku tidak mempunyai waktu untuk itu. Aku menjadi semakin rajin mengikuti pengajian; bukan hanya yang diselenggarakan kawan-kawan artis, tapi juga pengajian-pengajian lain termasuk yang diadakan di RT-ku. Tidak itu saja, aku juga getol membaca buku-buku keagamaan.

Waktuku pun tersita oleh kegiatan-kegiatan di luar rumah. Selain pekerjaanku sebagai artis, aku menikmati kegiatan-kegiatan pengajian. Apalagi setelah salah seorang ustadz mempercayaiku untuk menjadi "asisten"-nya. Bila dia berhalangan, aku dimintanya untuk mengisi pengajian. Inilah yang memicu semangatku untuk lebih getol membaca buku-buku keagamaan. O ya, aku belum menceritakan bahwa aku yang selama ini selalu mengikuti mode dan umumnya yang mengarah kepada penonjolan daya tarik tubuhku, sudah aku hentikan sejak kepulanganku dari umrah bersama kawan-kawan. Sejak itu aku senantiasa memakai busana muslimah yang menutup aurat. Malah jilbabku kemudian menjadi tren yang diikuti oleh kalangan muslimat.

Ringkas cerita; dari sekadar sebagai artis, aku berkembang dan meningkat menjadi "tokoh masyarakat" yang diperhitungkan. Karena banyaknya ibu-ibu yang sering menanyakan kepadaku mengenai berbagai masalah keluarga, aku dan kawan-kawan pun mendirikan semacam biro konsultasi yang kami namakan "Biro Konsultasi Keluarga Sakinah Primadona". Aku pun harus memenuhi undangan-undangan --bukan sekadar menjadi "penarik minat" seperti dulu-- sebagai nara sumber dalam diskusi-diskusi tentang masalah-masalah keagamaan, sosial-kemasyarakatan, dan bahkan politik. Belum lagi banyaknya undangan dari panitia yang sengaja menyelenggarakan forum sekadar untuk memintaku berbicara tentang bagaimana perjalanan hidupku hingga dari artis bisa menjadi seperti sekarang ini.

Dengan statusku yang seperti itu dengan volume kegiatan kemasyarakatan yang sedemikian tinggi, kondisi kehidupan rumah tanggaku sendiri seperti yang sudah aku ceritakan, tentu semakin terabaikan. Aku sudah semakin jarang di rumah. Kalau pun di rumah, perhatianku semakin minim terhadap anak-anak; apalagi terhadap suami yang semakin menyebalkan saja kelakuannya. Dan terus terang, gara-gara suami, sebenarnyalah aku tidak kerasan lagi berada di rumahku sendiri.

Lalu terjadi sesuatu yang membuatku terpukul. Suatu hari, tanpa sengaja, aku menemukan sesuatu yang mencurigakan. Di kamar suamiku, aku menemukan lintingan rokok ganja. Semula aku diam saja, tapi hari-hari berikutnya kutemukan lagi dan lagi. Akhirnya aku pun menanyakan hal itu kepadanya. Mula-mula dia seperti kaget, tapi kemudian mengakuinya dan berjanji akan menghentikannya.

Namun beberapa lama kemudian aku terkejut setengah mati. Ketika aku baru naik mobil akan pergi untuk suatu urusan, sopirku memperlihatkan bungkusan dan berkata: "Ini milik siapa, Bu?"

"Apa itu?" tanyaku tak mengerti.
"Ini barang berbahaya, Bu," sahutnya khawatir, "Ini ganja. Bisa gawat bila ketahuan!"
"Masya Allah!" Aku mengelus dadaku. Sampai sopir kami tahu ada barang semacam ini. Ini sudah keterlaluan.

Setelah aku musnahkan barang itu, aku segera menemui suamiku dan berbicara sambil menangis. Lagi-lagi dia mengaku dan berjanji kapok, tak akan lagi menyentuh barang haram itu. Tapi seperti sudah aku duga, setelah itu aku masih selalu menemukan barang itu di kamarnya. Aku sempat berpikir, jangan-jangan kelakuannya yang kasar itu akibat kecanduannya mengonsumsi barang berbahaya itu. Lebih jauh aku mengkhawatirkan pengaruhnya terhadap anak-anak.

Terus terang aku sudah tidak tahan lagi. Memang terpikir keras olehku untuk meminta cerai saja, demi kemaslahatanku dan terutama kemaslahatan anak-anakku. Namun seiring maraknya tren kawin-cerai di kalangan artis, banyak pihak terutama fans-fansku yang menyatakan kagum dan memuji-muji keharmonisan kehidupan rumah tanggaku. Bagaimana mereka ini bila tiba-tiba mendengar --dan pasti akan mendengar-- idolanya yang konsultan keluarga sakinah ini bercerai? Yang lebih penting lagi adalah akibatnya pada masa depan anak-anakku. Aku sudah sering mendengar tentang nasib buruk yang menimpa anak-anak orang tua yang bercerai. Aku bingung.

Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mengorbankan rumah tanggaku demi kegiatan kemasyarakatanku, ataukah sebaiknya aku menghentikan kegiatan kemasyarakatan demi keutuhan rumah tanggaku? Atau bagaimana? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing!***

Rabu, 12 Oktober 2011

CERPEN

Cerpen Remaja SMA : ANGKASA


Kelabu.  Itulah pancaran mata wali kelasku.  Beliau merongrongku dengan kata 'belajar' sepanjang tahun, tetapi aku tidak berniat mendengarkannya.  Sampai akhirnya aku menangkap kemendungannya, hingga aku terpuruk penuh rasa salah. 
Tega nian aku menyusahkan orang setua ini.

Beliau menadahi dagunya dengan telapak tangan.  Alisnya meliuk-liuk.  Kacamata besarnya melorot.  Kerut-merut pada paras wali kelasku menunjukkan jumlah kebijaksanaan yang telah ia miliki. 
Kebijakan yang selama ini kutolak karena kuanggap terlalu tua.  Namun aku salah.  Apapun yang terucap dari mulut beliau bukan dusta.  Ketika beliau mengganggu waktu bermainku dan menuduhku anak malas, saat beliau berkata aku harus belajar lebih keras, dan segalanya, yang selalu kuabaikan, akhirnya aku gagal. 
Gagal dua kali menempuh kelas dua SMA. 
Dari bola matanya terlihat sorot mataku.  Gelap.  Mataku kosong, seperti tidak bernyawa.  Layaknya langit mendung nan gelap.  Tak ada cahaya di sana.

Aku lelah menanggung malu.  Tetapi aku letih memaksa diri belajar.  Padahal aku ingin naik kelas.  Semua orang mendukungku.  Kemudian godaan datang bertubi-tubi bagiku.  Melepasku dari kata rajin.  Aku pun terbuai.  Pergilah aku meninggalkan meja belajar.  Memboloslah aku dari pelajaran paling sulit.  Kubuang segala kesempatanku. 
Hingga aku menemukan kalimat pernyataan 'tidak naik kelas' di buku raporku.  Ini kedua kalinya aku tidak naik kelas.  Bodoh sekali, bukan?
Wali kelasku menyanggah.  Kamu tidak bodoh.  Kamu hanya terlalu tidak peduli pada nasib masa depanmu. 
Kalau aku tidak bodoh, mengapa terjadi?
Karena kamu tidak mau sedikit saja menyisihkan waktumu untuk berjuang!
Dengan kesal sekaligus tertohok oleh ucapan sang wali kelas, aku memberengut.  Kutinggalkan ruang guru yang gelap, kubanting pintunya, kularikan kakiku sejauh mungkin.  Mungkin aku ingin pergi ke tempat main.  Mungkin aku hanya mau pulang dan tidur sepuasnya. 
Aku ingin kabur dari dunia nyata di mana kita harus terus bekerja susah payah. 
Benci!

Tahun ajaran baru dimulai dengan kehampaan.  Teman-temanku yang sudah naik strata ke tingkat terakhir SMA menertawakanku.  Mengasihaniku.  Menepuk pundakku.  Memberiku nasihat basi.  Mata mereka menampakkan awan putih.  Tanpa beban.  Bebas.  Lega.  Sedangkan aku melihat guntur di mataku.  Marah.  Kesal.  Sesal.

Kuterobos gerombolan mantan adik kelasku.  Kini aku terjebak bersama para berondong! Siapa kalian? Ah, nanti kalian pasti menertawakan aku jika telah tahu kisahku. 
Aku masuk kelas.  Banyak orang di sana.  Menatapku penuh tanda tanya.  Tentu saja.  Mereka tidak mengenalku.

Duduklah aku di bangku belakang, sudut kanan.  Ini ruang kelasku yang lama.  Baunya pun masih sama. 
Sekonyong-konyong datang seorang gadis manis berambut keriting kriwil.  Ia memberi senyum padaku.  Disebutnya sebuah nama: Kirana.  Lalu aku membalas perkenalannya. 
Ia tampak terpukau oleh namaku, Bintang.  Matanya berbinar.  Oh, sebuah bulan kemilau! Aku menemukan bulan di mata Kirana. 

Wali kelasku bertanya mengenai kabarku.  Ia bilang aku harus berubah tahun ini.  Apa yang mesti kuubah? Aku nyaman hidup sesantai-santainya. 
Tetapi kamu wajib naik kelas!
Ya.  Kalau begitu, bagaimana caranya hidup santai penuh sukses?
Hidup adalah perjuangan. 
Kenapa kita harus berjuang?
Wali kelasku, Pak Surya, pun mengalah.  Mendesahlah beliau.  Kacamatanya dicopot.  Tangannya dilipat. 
Ia memanggil namaku dan mulai mengusahakan pembicaraan serius antara kami.  Dikatakannya bahwa setidaknya, walaupun aku benci SMA dan belajar, aku harus menempuhnya demi kebahagiaan orang tuaku.  Lagipula, aku sudah gagal.  Gagal adalah awal dari kesuksesan.  Seharusnya sejak gagal pertama kali aku diharapkan menyadari kesalahan dan memperbaikinya. 
Pak Surya kecewa karena perjuanganku tidak dilakukan dengan serius.  Kenapa? tanyanya.  Cobalah sekali lagi.  Dengan sungguh-sungguh.

Ingin aku menyumbat telinga dengan gabus.  Malas aku mendengar ocehannya.  Di sisi lain, petuah-petuahnya memang menyakiti hatiku.  Terasa begitu tepat mengenai perasaanku. 
Beliau tidak pernah salah bicara. 

Pemilik mata bulan yang masih kecil menghampiriku.  Ia menyodorkan catatan Sejarah untukku.  Rupanya ia menyadari aku tertidur saat pelajaran, dan, tentu saja, buku catatanku kosong melompong bak kolam renang sedang dibersihkan.  Hanya garis-garis yang nampak atasnya. 
Aku berterima kasih.  Ia mengangguk.  Pinjam saja dulu.  Aku sudah menggarisbawahi bagian terpenting. 
Heran.  Jangan-jangan ia agen rahasia dari Pak Surya dalam rangka membuatku tidak tinggal kelas! Kutanyai Kirana tanpa basa-basi. 
Ia menggeleng.  Dia bilang, ia hanya tidak mau nanti ada satu anak pun yang tertinggal di akhir tahun ajaran.  Sialan.  Mengena sekali!
Mulai besok jangan tidur di kelas lagi.  Nasihat Kirana menggema.  Rugi. 

Mataku tetap terasa kering kerontang meskipun aku berusaha membelalakannya.  Kutopang daguku.  Kutampar pipiku.  Namun atmosfer yang dikerubuti debu-debu Matematika gencar menyuruhku terlelap. 
Semua keributan di kelas rasanya mengawang dalam kepalaku.  Langit di luar mendung.  Meniru atmosfer hatiku.

Lalu datanglah jam istirahat.  Segera kuregangkan otot-ototku.  Hah.  Perutku lapar.  Berkeruyuk ia dengan lantang.  Kirana menghampiriku secara ajaib, membawa sekotak makanan.  Dia tersenyum simpul dan mengajakku makan. 
Kalau perut lapar, belajar mana masuk?
Aku merenggut.  Aku tidak punya makanan.

Kotak makanan Kirana yang ukurannya kira-kira sebesar ubin keramik putih dibuka.  Rupanya di sana tersaji seonggok sayuran dan empat potong perkedel jagung.  Hmm.  Menggiurkan.  Kirana kemudian duduk di depanku, membawa kantung bekalnya yang tertinggal di mejanya.  Dikeluarkannya sekotak nasi. 
Pinjam piring ke ruang guru, pintanya.

Maka aku beranjak dan bertemu Pak Surya sedang mengobrol dengan guru lain.  Ruang guru pengap tersebut ramai oleh keberadaan para pahlawan tanpa jasa berbaju rapi.  Lantas aku menanyakan pada Pak Surya perihal meminjam piring.  Ia pun memberikannya. 
Jarang kau makan saat istirahat, Bintang.  Siapa teman makanmu?

Aku cengengesan sendiri.  Kusebut nama seorang teman sekelas.  Asal saja.  Lalu aku berlari keluar. 
Kembalikan siang ini, ya!
Aku tiba di kelas.  Kirana membaca buku saku berisi moto-moto Latin selama menantiku.  Ia segera membagi nasinya dan lauknya.  Kami makan bersama sambil mengobrol.

Diceritakannya soal keluarganya yang ramai.  Tentang dua adiknya, ayah pendiamnya, ibu ceriwisnya, bahkan bebek peliharaannya.  Ia paparkan padaku buku-buku bacaan favoritnya.  Pramoedya.  Fira Basuki.  Dee.  Lalu ada nama Hilman disebutkan juga.  Semua genre adalah favoritnya! Kirana pun memberitahuku soal musik.  Dia suka jazz.  Aku penggemar indie dan The Upstairs.

Kami tertawa saat seorang teman sekelas masuk dan menuduh kami pacaran. 
Seiring kenyangnya perutku, aku semakin gembira.  Pelajaran berikutnya, aku menyerap semua kata-kata guru Matematikaku.  Aku bahkan berhasil mengerjakan latihan fungsi aljabarku. 
Beberapa nomor salah, sih. 
Tapi lumayan, 'kan?

Kami mendapat tugas kelompok.  Membaca buku sejarah Indonesia, terutama tentang berkembangnya aneka agama di sana sejak abad sekian dan pengaruhnya pada kebudayaan kita masa kini dan menuliskan inti-inti terpentingnya.  Aku disekelompokkan dengan Kirana.  Seakan guruku ingin membuat seisi kelas meledek kami karena kami sangat dekat. 
Lantas Kirana malah menambah seru anak-anak dengan mengajakku pulang bersama dan mengerjakan tugas di perpustakaan kota.  Kota kecil tempat kami tinggal. 
Aku setuju-setuju saja.  Kapan lagi ada gadis yang mau mengajakku pergi?
Pulang sekolah, ia membawaku ke tempat parkir sekolah.  Aku bertanya-tanya.  Apa dia membawa mobil atau motor?

Kamu bisa mengendarai sepeda?
Aku terheran-heran menyaksikan sepeda ontel yang dibawanya.  Astaga.  Lucu sekali.  Sebuah kendaraan tanpa bahan bakar dengan keranjang pada moncongnya dan dudukan boncengan di punggung. 
Akhirnya kami berboncengan naik sepeda ontel menyusuri jalan sepi kota kami.  Aku di depan, ia di belakang, meremas ranselku supaya tetap seimbang.  Betapa imutnya dia, kalau kupikir-pikirkan ekspresinya.

Siapa kira-kira yang dulu membonceng Kirana?
Kami sampai di gerbang perpustakaan umum.  Kami sisiri setiap rak buku sampai menemukan buku yang direkomendasikan guru sejarah kami tersebut.  Pustaka tebal tersebut kami bawa ke meja bundar yang tersedia di sana.  Kami lalu membacanya bersama seperti anak kecil berbagi dongeng.  Sesudah itu mencatat bagian-bagian penting yang ditargetkan guru. 
Ia merapat padaku ketika mengingatkanku bahwa ada beberapa hal yang sebetulnya tidak perlu kutulis.  Heran.  Rasanya perutku mulas.  Aku buru-buru mengiyakan ucapannya dan menghapus tulisanku.  Ia menyingkir, dan mulasku masih ada. 
Hening sejenak.  Kami asyik masing-masing. 
Aku tak sengaja menggarisbawahi satu kalimat dalam paragraf penting—maksudku agar tidak terlewatkan.  Untung aku memakai pensil. 
Punya penghapus?
Wah, Bintang! Jangan coret-coret bukunya, dong.
Aku bilang aku tak sengaja.  Kirana cekikikan.  Dia melempar penghapus ke telapak tanganku.  Kutangkap dengan lincah. 
Kamu suka olahraga?
Lumayan.
Aku sih tidak.  Kecuali bersepeda dan jalan kaki. 
Waktu kecil aku juara kelereng segeng main.
Aku juara duduk terlama, kalau begitu.
Kirana pun menertawakan dirinya sendiri.  Aku memandanginya penuh kekaguman.  Ia nampak bersinar.  Di matanya ada kerlipan kemilau. 
Mataku sendiri memantulkan cahaya tersebut.  Sepertinya di antara langit gelap hampaku muncul secercah cahaya.  

Kirana sangat terbuka padaku mengenai dirinya.  Dalam waktu beberapa bulan saja, aku nyaris hafal apa kebiasaannya.  Dia pun begitu terhadapku.  Padahal aku cukup tertutup. 
Tapi Kirana berkata bahwa kelakuanku sangat polos, kadang-kadang.  Semua orang mampu mengenali perasaanku tanpa perlu banyak wawancara. 
Aku hanya nyengir mendengar komentarnya. 
Bersamaan dengan persahabatanku dengan Kirana, aku menyadari bahwa nilaiku naik.  Secuil saja, tidak ekstrim.  Tapi Pak Surya saja suatu kali memanggilku dan memberiku sekeping coklat koin berbungkus kertas emas. 
Hadiah lulus midsemester. 
Aku tertawa geli melihat cara ia memperlakukanku seperti anak SD.  Perlu upetikah aku untuk melaksanakan hal yang baik?
Ini hanya sebagai penghargaan kecil supaya kau termotivasi untuk meningkatkan nilaimu lebih lagi, Bintang. 
Terima kasih, Pak.
Pak Surya barangkali baru pertama kali mendapatkan ucapan terima kasih dariku.  Ia melotot.  Karena itulah aku dapat melihat langit pada matanya yang kian terang.  Oh, Pak Surya. 

Nilai senirupaku terlebih membanggakan lagi.  Lukisan pemandanganku dipuja oleh guru seni.  Ia bilang, karyaku terasa asli dan penuh penghayatan.  Begitulah.  Aku sampai menahan nafas karena baru kali ini aku diberi kata-kata semanis itu.  Orang tuaku saja tidak pernah bilang begitu. 
Aku tidak tahu kamu pandai melukis. 
Itu kata-kata Kirana.  Ia malah minta aku melukis langit malam dengan bulan dan bintang-bintang kecil untuk dipajang sebagai dekorasi kamarnya.  Aku menerima saja kemauannya.  Kirana sampai membeli selembar kain kanvas selebar daun pintu. 
Sungguh-sungguh buatkan, ya. 
Boleh. 
Malam itu aku bercokol di rumah dan mengeluarkan cat lamaku yang ternyata sudah kering! Mumpung tidak ada PR dan cerah, aku berjalan ke toko alat lukis terdekat. 
Kutelusuri rak demi rak memilih cat berkualitas tertinggi. 
Aku pulang membawa cat yang kusukai dan dalam semalam aku menyelesaikan segulung lukisan langit malam yang sarat rasa senang.  Keesokan paginya Kirana menerima lukisan tersebut dengan penuh keceriaan.  Dia menepuk lenganku entah berapa belas kali saking riangnya. 
Terima kasihnya diucapkan puluhan kali setiap menit. 
Mengapa kau begitu menyukai langit malam?
Mata Kirana meredup.  Tidak sinkron dengan kalimat berikutnya yang ia lontarkan. 
Ada kenangan manis tentang langit malam.  Aku dan seseorang dulu selalu memandangi langit bersama.  Langit malam yang cantik.  Aku bulan, dan dia bintangnya. 
Perutku mulas.  Ia tampak kelam seperti warna langit malam.  Kuberanikan diri bertanya siapa orang yang ia maksud.

Mirip denganmu, sifatnya.  Seumuran dengan kita. 
Aku bertambah penasaran. 
Dia teman lamamu?
Kirana mengangguk pelan.  Kalau sekedar teman lama, kenapa seakan ia sangat merindukannya? Mungkinkah figur misterius tersebut adalah kekasihnya?
Mantan pacar ya? Tanyaku, bernada jahil.

Kirana bahkan tidak tersenyum.  Ia malah menatapku gundah.  Aku terkejut saat bulan di matanya itu mencair.  Leleh seperti kuning telur.  Dalam kesunyian, Kirana membiarkan beberapa butir air mata terjun ke pipinya.  Aku tidak sempat mengambil lap apapun.  Maka kupakai tanganku untuk membantunya mengeringkannya. 
Ia menunduk.  Kuberi ia peluk. 
Sampai akhirnya ia menceritakan semuanya.  Segala hal yang dilakukan teman menonton langit malamnya.  Seorang laki-laki dari kelas sebelah.  Membelikan sekotak biskuit coklat.  Memboncengnya ke padang rumput terdekat.  Duduk bersamanya, merinci nama-nama bintang.  Setiap hari mereka bersama.  Tiga bulan yang luar biasa, kata Kirana.  Hingga Kirana sadar bahwa temannya itu semakin kurus saja.

Hingga anak itu tidak pernah muncul di sekolah.  Hingga Kirana menemukan namanya di daftar penghuni baru rehabilitasi narkoba.  Suatu saat, temannya itu menghilang.  Dan terbaca berita di koran bahwa seorang pemuda usia lima belas overdosis di kamar tidurnya sendiri.  Kemudian Kirana melihat rumah temannya dikunjungi orang-orang berbaju hitam.  Tanda duka. 
Kirana selalu menatap langit malam.  Ia berharap temannya berbicara lewat kerlingan bintang dan bulan di atas sana.  Tapi mustahil!

Pandanganku pada dunia berubah begitu saja.  Aku dan Kirana belajar habis-habisan untuk ulangan umum semester dua ini.  Setiap hari kami mengulang pelajaran hari ini di jalan pulang.  Kami berpisah di perpustakaan karena letaknya di tengah kota.

Kurasa aku perlu berjuang kali ini.  Aku tidak mau tertinggal lagi, karena aku akan keluar dari sekolah jika sekali lagi aku gagal.  Semua dukungan Kirana tentu jadi sia-sia.  Betapa bakal marahnya ia jika itu terjadi!
Di sisi lain, sulit bagiku untuk tidak mengikuti semua omongan Kirana yang memotivasi secara luar biasa.  Dia jarang membiarkanku menganggur.  Setiap aku punya waktu senggang, ia mengajakku tanya jawab Geografi.  Ketika aku hampir tertidur di jam pelajaran Matematika, Kirana menggebuk mejaku hingga semua orang kaget.  Tapi aku toh langsung cenghar. 
Pak Surya menyumbangkan tiga keping coklat koin untukku.  Nilaimu naik tiga angka untuk Matematika.  Luar biasa.  Pertahankan sampai kau lulus SMA. 
Beberapa kerlipan mengunjungi tatapanku.  Aku merasa bola mataku berbinar cerah. 

Cerah.  Mata Pak Surya benar-benar secerah pagi hari.  Seakan ada matahari bertengger di sana.  Ia menggenggam buku raporku.  Setelah dua kali tercap tulisan TIDAK NAIK KELAS di sana, kini terstempel frasa terindah untuk masa ini: NAIK KELAS.  Aku, Bintang, naik kelas!
Kirana, yang berdiri di sampingku, tersenyum bangga.  Ia juga memeluk buku rapornya. 
Kamu hebat, Bintang.

Itu karena kalian, Pak Surya, Kirana. 
Pak Surya lantas berkata pada Kirana: Kenapa kau tertarik untuk memotivasi Bintang?
Kirana hanya menjawab tenang: Karena aku bulan.  Bulan adalah sahabat sejati bintang. 
Kami para lelaki kebingungan mendengar puisi singkatnya.  Kirana lalu berkata bahwa ia tidak tega melihat Pak Surya karena terlalu pusing memikirkan aku. 
Pak Surya terkikik dan berpandangan dengan Kirana.  Untung saya bocorkan padamu ada seorang anak yang butuh perhatian lebih padamu. 
Apa?

Tapi aku tidak sekedar ingin membuatmu naik kelas, Bintang, kata Pak Surya tanpa bisa kupahami.  Kirana adalah teman yang luar biasa bagimu.  Tidakkah pada matamu sekarang terlihat banyak bintang bertaburan?  Kirana yang memberikannya bagimu. 
Kirana dan Pak Surya saling tersenyum.  Wah, persengkongkolan macam apa ini? Sejak awal mereka bekerja sama membantingku agar naik kelas! Jadi Kirana bukannya secara spontan tertarik padaku?
Bintang, asal kamu tahu, Kirana pernah sekali dua kali bilang kau sangat baik.  Hei, aku tidak sekedar memberimu kenaikan kelas, 'kan?
Aku mengerjap.  Kirana lalu keluar dari ruang guru.  Pak Surya mengedipkan sebelah matanya.  Aku segera paham maksudnya.  Kutatap langit cerah di matanya sekali lagi, agar aku punya keberanian. 
Kuhampiri Kirana, yang sedang tersenyum sumringah.

Boleh aku menjadi bintang bagimu? Akan kutemani kau di langit malam yang gelap itu. 
Kirana malah menertawakanku.  Habis-habisan.  Tapi segera ia menghentikan kelakuannya dan menghambur padaku.  Dipeluknya aku erat-erat.  Perutku mulas tiada tara saking berdebar-debarnya. 
Sinar bulan, kelap-kelip bintang, elegannya langit malam.  Semua melebur saat kami saling menatap.  Kini aku akan menemaninya.  Selamanya, kuharap.