Cerpen Remaja SMA : ANGKASA
Kelabu. Itulah pancaran mata wali kelasku. Beliau merongrongku dengan kata 'belajar' sepanjang tahun, tetapi aku tidak berniat mendengarkannya. Sampai akhirnya aku menangkap kemendungannya, hingga aku terpuruk penuh rasa salah.
Tega nian aku menyusahkan orang setua ini.
Beliau menadahi dagunya dengan telapak tangan. Alisnya meliuk-liuk. Kacamata besarnya melorot. Kerut-merut pada paras wali kelasku menunjukkan jumlah kebijaksanaan yang telah ia miliki.
Kebijakan yang selama ini kutolak karena kuanggap terlalu tua. Namun aku salah. Apapun yang terucap dari mulut beliau bukan dusta. Ketika beliau mengganggu waktu bermainku dan menuduhku anak malas, saat beliau berkata aku harus belajar lebih keras, dan segalanya, yang selalu kuabaikan, akhirnya aku gagal.
Gagal dua kali menempuh kelas dua SMA.
Dari bola matanya terlihat sorot mataku. Gelap. Mataku kosong, seperti tidak bernyawa. Layaknya langit mendung nan gelap. Tak ada cahaya di sana.
Aku lelah menanggung malu. Tetapi aku letih memaksa diri belajar. Padahal aku ingin naik kelas. Semua orang mendukungku. Kemudian godaan datang bertubi-tubi bagiku. Melepasku dari kata rajin. Aku pun terbuai. Pergilah aku meninggalkan meja belajar. Memboloslah aku dari pelajaran paling sulit. Kubuang segala kesempatanku.
Hingga aku menemukan kalimat pernyataan 'tidak naik kelas' di buku raporku. Ini kedua kalinya aku tidak naik kelas. Bodoh sekali, bukan?
Wali kelasku menyanggah. Kamu tidak bodoh. Kamu hanya terlalu tidak peduli pada nasib masa depanmu.
Kalau aku tidak bodoh, mengapa terjadi?
Karena kamu tidak mau sedikit saja menyisihkan waktumu untuk berjuang!
Dengan kesal sekaligus tertohok oleh ucapan sang wali kelas, aku memberengut. Kutinggalkan ruang guru yang gelap, kubanting pintunya, kularikan kakiku sejauh mungkin. Mungkin aku ingin pergi ke tempat main. Mungkin aku hanya mau pulang dan tidur sepuasnya.
Aku ingin kabur dari dunia nyata di mana kita harus terus bekerja susah payah.
Benci!
Tahun ajaran baru dimulai dengan kehampaan. Teman-temanku yang sudah naik strata ke tingkat terakhir SMA menertawakanku. Mengasihaniku. Menepuk pundakku. Memberiku nasihat basi. Mata mereka menampakkan awan putih. Tanpa beban. Bebas. Lega. Sedangkan aku melihat guntur di mataku. Marah. Kesal. Sesal.
Kuterobos gerombolan mantan adik kelasku. Kini aku terjebak bersama para berondong! Siapa kalian? Ah, nanti kalian pasti menertawakan aku jika telah tahu kisahku.
Aku masuk kelas. Banyak orang di sana. Menatapku penuh tanda tanya. Tentu saja. Mereka tidak mengenalku.
Duduklah aku di bangku belakang, sudut kanan. Ini ruang kelasku yang lama. Baunya pun masih sama.
Sekonyong-konyong datang seorang gadis manis berambut keriting kriwil. Ia memberi senyum padaku. Disebutnya sebuah nama: Kirana. Lalu aku membalas perkenalannya.
Ia tampak terpukau oleh namaku, Bintang. Matanya berbinar. Oh, sebuah bulan kemilau! Aku menemukan bulan di mata Kirana.
Wali kelasku bertanya mengenai kabarku. Ia bilang aku harus berubah tahun ini. Apa yang mesti kuubah? Aku nyaman hidup sesantai-santainya.
Tetapi kamu wajib naik kelas!
Ya. Kalau begitu, bagaimana caranya hidup santai penuh sukses?
Hidup adalah perjuangan.
Kenapa kita harus berjuang?
Wali kelasku, Pak Surya, pun mengalah. Mendesahlah beliau. Kacamatanya dicopot. Tangannya dilipat.
Ia memanggil namaku dan mulai mengusahakan pembicaraan serius antara kami. Dikatakannya bahwa setidaknya, walaupun aku benci SMA dan belajar, aku harus menempuhnya demi kebahagiaan orang tuaku. Lagipula, aku sudah gagal. Gagal adalah awal dari kesuksesan. Seharusnya sejak gagal pertama kali aku diharapkan menyadari kesalahan dan memperbaikinya.
Pak Surya kecewa karena perjuanganku tidak dilakukan dengan serius. Kenapa? tanyanya. Cobalah sekali lagi. Dengan sungguh-sungguh.
Ingin aku menyumbat telinga dengan gabus. Malas aku mendengar ocehannya. Di sisi lain, petuah-petuahnya memang menyakiti hatiku. Terasa begitu tepat mengenai perasaanku.
Beliau tidak pernah salah bicara.
Pemilik mata bulan yang masih kecil menghampiriku. Ia menyodorkan catatan Sejarah untukku. Rupanya ia menyadari aku tertidur saat pelajaran, dan, tentu saja, buku catatanku kosong melompong bak kolam renang sedang dibersihkan. Hanya garis-garis yang nampak atasnya.
Aku berterima kasih. Ia mengangguk. Pinjam saja dulu. Aku sudah menggarisbawahi bagian terpenting.
Heran. Jangan-jangan ia agen rahasia dari Pak Surya dalam rangka membuatku tidak tinggal kelas! Kutanyai Kirana tanpa basa-basi.
Ia menggeleng. Dia bilang, ia hanya tidak mau nanti ada satu anak pun yang tertinggal di akhir tahun ajaran. Sialan. Mengena sekali!
Mulai besok jangan tidur di kelas lagi. Nasihat Kirana menggema. Rugi.
Mataku tetap terasa kering kerontang meskipun aku berusaha membelalakannya. Kutopang daguku. Kutampar pipiku. Namun atmosfer yang dikerubuti debu-debu Matematika gencar menyuruhku terlelap.
Semua keributan di kelas rasanya mengawang dalam kepalaku. Langit di luar mendung. Meniru atmosfer hatiku.
Lalu datanglah jam istirahat. Segera kuregangkan otot-ototku. Hah. Perutku lapar. Berkeruyuk ia dengan lantang. Kirana menghampiriku secara ajaib, membawa sekotak makanan. Dia tersenyum simpul dan mengajakku makan.
Kalau perut lapar, belajar mana masuk?
Aku merenggut. Aku tidak punya makanan.
Kotak makanan Kirana yang ukurannya kira-kira sebesar ubin keramik putih dibuka. Rupanya di sana tersaji seonggok sayuran dan empat potong perkedel jagung. Hmm. Menggiurkan. Kirana kemudian duduk di depanku, membawa kantung bekalnya yang tertinggal di mejanya. Dikeluarkannya sekotak nasi.
Pinjam piring ke ruang guru, pintanya.
Maka aku beranjak dan bertemu Pak Surya sedang mengobrol dengan guru lain. Ruang guru pengap tersebut ramai oleh keberadaan para pahlawan tanpa jasa berbaju rapi. Lantas aku menanyakan pada Pak Surya perihal meminjam piring. Ia pun memberikannya.
Jarang kau makan saat istirahat, Bintang. Siapa teman makanmu?
Aku cengengesan sendiri. Kusebut nama seorang teman sekelas. Asal saja. Lalu aku berlari keluar.
Kembalikan siang ini, ya!
Aku tiba di kelas. Kirana membaca buku saku berisi moto-moto Latin selama menantiku. Ia segera membagi nasinya dan lauknya. Kami makan bersama sambil mengobrol.
Diceritakannya soal keluarganya yang ramai. Tentang dua adiknya, ayah pendiamnya, ibu ceriwisnya, bahkan bebek peliharaannya. Ia paparkan padaku buku-buku bacaan favoritnya. Pramoedya. Fira Basuki. Dee. Lalu ada nama Hilman disebutkan juga. Semua genre adalah favoritnya! Kirana pun memberitahuku soal musik. Dia suka jazz. Aku penggemar indie dan The Upstairs.
Kami tertawa saat seorang teman sekelas masuk dan menuduh kami pacaran.
Seiring kenyangnya perutku, aku semakin gembira. Pelajaran berikutnya, aku menyerap semua kata-kata guru Matematikaku. Aku bahkan berhasil mengerjakan latihan fungsi aljabarku.
Beberapa nomor salah, sih.
Tapi lumayan, 'kan?
Kami mendapat tugas kelompok. Membaca buku sejarah Indonesia, terutama tentang berkembangnya aneka agama di sana sejak abad sekian dan pengaruhnya pada kebudayaan kita masa kini dan menuliskan inti-inti terpentingnya. Aku disekelompokkan dengan Kirana. Seakan guruku ingin membuat seisi kelas meledek kami karena kami sangat dekat.
Lantas Kirana malah menambah seru anak-anak dengan mengajakku pulang bersama dan mengerjakan tugas di perpustakaan kota. Kota kecil tempat kami tinggal.
Aku setuju-setuju saja. Kapan lagi ada gadis yang mau mengajakku pergi?
Pulang sekolah, ia membawaku ke tempat parkir sekolah. Aku bertanya-tanya. Apa dia membawa mobil atau motor?
Kamu bisa mengendarai sepeda?
Aku terheran-heran menyaksikan sepeda ontel yang dibawanya. Astaga. Lucu sekali. Sebuah kendaraan tanpa bahan bakar dengan keranjang pada moncongnya dan dudukan boncengan di punggung.
Akhirnya kami berboncengan naik sepeda ontel menyusuri jalan sepi kota kami. Aku di depan, ia di belakang, meremas ranselku supaya tetap seimbang. Betapa imutnya dia, kalau kupikir-pikirkan ekspresinya.
Siapa kira-kira yang dulu membonceng Kirana?
Kami sampai di gerbang perpustakaan umum. Kami sisiri setiap rak buku sampai menemukan buku yang direkomendasikan guru sejarah kami tersebut. Pustaka tebal tersebut kami bawa ke meja bundar yang tersedia di sana. Kami lalu membacanya bersama seperti anak kecil berbagi dongeng. Sesudah itu mencatat bagian-bagian penting yang ditargetkan guru.
Ia merapat padaku ketika mengingatkanku bahwa ada beberapa hal yang sebetulnya tidak perlu kutulis. Heran. Rasanya perutku mulas. Aku buru-buru mengiyakan ucapannya dan menghapus tulisanku. Ia menyingkir, dan mulasku masih ada.
Hening sejenak. Kami asyik masing-masing.
Aku tak sengaja menggarisbawahi satu kalimat dalam paragraf penting—maksudku agar tidak terlewatkan. Untung aku memakai pensil.
Punya penghapus?
Wah, Bintang! Jangan coret-coret bukunya, dong.
Aku bilang aku tak sengaja. Kirana cekikikan. Dia melempar penghapus ke telapak tanganku. Kutangkap dengan lincah.
Kamu suka olahraga?
Lumayan.
Aku sih tidak. Kecuali bersepeda dan jalan kaki.
Waktu kecil aku juara kelereng segeng main.
Aku juara duduk terlama, kalau begitu.
Kirana pun menertawakan dirinya sendiri. Aku memandanginya penuh kekaguman. Ia nampak bersinar. Di matanya ada kerlipan kemilau.
Mataku sendiri memantulkan cahaya tersebut. Sepertinya di antara langit gelap hampaku muncul secercah cahaya.
Kirana sangat terbuka padaku mengenai dirinya. Dalam waktu beberapa bulan saja, aku nyaris hafal apa kebiasaannya. Dia pun begitu terhadapku. Padahal aku cukup tertutup.
Tapi Kirana berkata bahwa kelakuanku sangat polos, kadang-kadang. Semua orang mampu mengenali perasaanku tanpa perlu banyak wawancara.
Aku hanya nyengir mendengar komentarnya.
Bersamaan dengan persahabatanku dengan Kirana, aku menyadari bahwa nilaiku naik. Secuil saja, tidak ekstrim. Tapi Pak Surya saja suatu kali memanggilku dan memberiku sekeping coklat koin berbungkus kertas emas.
Hadiah lulus midsemester.
Aku tertawa geli melihat cara ia memperlakukanku seperti anak SD. Perlu upetikah aku untuk melaksanakan hal yang baik?
Ini hanya sebagai penghargaan kecil supaya kau termotivasi untuk meningkatkan nilaimu lebih lagi, Bintang.
Terima kasih, Pak.
Pak Surya barangkali baru pertama kali mendapatkan ucapan terima kasih dariku. Ia melotot. Karena itulah aku dapat melihat langit pada matanya yang kian terang. Oh, Pak Surya.
Nilai senirupaku terlebih membanggakan lagi. Lukisan pemandanganku dipuja oleh guru seni. Ia bilang, karyaku terasa asli dan penuh penghayatan. Begitulah. Aku sampai menahan nafas karena baru kali ini aku diberi kata-kata semanis itu. Orang tuaku saja tidak pernah bilang begitu.
Aku tidak tahu kamu pandai melukis.
Itu kata-kata Kirana. Ia malah minta aku melukis langit malam dengan bulan dan bintang-bintang kecil untuk dipajang sebagai dekorasi kamarnya. Aku menerima saja kemauannya. Kirana sampai membeli selembar kain kanvas selebar daun pintu.
Sungguh-sungguh buatkan, ya.
Boleh.
Malam itu aku bercokol di rumah dan mengeluarkan cat lamaku yang ternyata sudah kering! Mumpung tidak ada PR dan cerah, aku berjalan ke toko alat lukis terdekat.
Kutelusuri rak demi rak memilih cat berkualitas tertinggi.
Aku pulang membawa cat yang kusukai dan dalam semalam aku menyelesaikan segulung lukisan langit malam yang sarat rasa senang. Keesokan paginya Kirana menerima lukisan tersebut dengan penuh keceriaan. Dia menepuk lenganku entah berapa belas kali saking riangnya.
Terima kasihnya diucapkan puluhan kali setiap menit.
Mengapa kau begitu menyukai langit malam?
Mata Kirana meredup. Tidak sinkron dengan kalimat berikutnya yang ia lontarkan.
Ada kenangan manis tentang langit malam. Aku dan seseorang dulu selalu memandangi langit bersama. Langit malam yang cantik. Aku bulan, dan dia bintangnya.
Perutku mulas. Ia tampak kelam seperti warna langit malam. Kuberanikan diri bertanya siapa orang yang ia maksud.
Mirip denganmu, sifatnya. Seumuran dengan kita.
Aku bertambah penasaran.
Dia teman lamamu?
Kirana mengangguk pelan. Kalau sekedar teman lama, kenapa seakan ia sangat merindukannya? Mungkinkah figur misterius tersebut adalah kekasihnya?
Mantan pacar ya? Tanyaku, bernada jahil.
Kirana bahkan tidak tersenyum. Ia malah menatapku gundah. Aku terkejut saat bulan di matanya itu mencair. Leleh seperti kuning telur. Dalam kesunyian, Kirana membiarkan beberapa butir air mata terjun ke pipinya. Aku tidak sempat mengambil lap apapun. Maka kupakai tanganku untuk membantunya mengeringkannya.
Ia menunduk. Kuberi ia peluk.
Sampai akhirnya ia menceritakan semuanya. Segala hal yang dilakukan teman menonton langit malamnya. Seorang laki-laki dari kelas sebelah. Membelikan sekotak biskuit coklat. Memboncengnya ke padang rumput terdekat. Duduk bersamanya, merinci nama-nama bintang. Setiap hari mereka bersama. Tiga bulan yang luar biasa, kata Kirana. Hingga Kirana sadar bahwa temannya itu semakin kurus saja.
Hingga anak itu tidak pernah muncul di sekolah. Hingga Kirana menemukan namanya di daftar penghuni baru rehabilitasi narkoba. Suatu saat, temannya itu menghilang. Dan terbaca berita di koran bahwa seorang pemuda usia lima belas overdosis di kamar tidurnya sendiri. Kemudian Kirana melihat rumah temannya dikunjungi orang-orang berbaju hitam. Tanda duka.
Kirana selalu menatap langit malam. Ia berharap temannya berbicara lewat kerlingan bintang dan bulan di atas sana. Tapi mustahil!
Pandanganku pada dunia berubah begitu saja. Aku dan Kirana belajar habis-habisan untuk ulangan umum semester dua ini. Setiap hari kami mengulang pelajaran hari ini di jalan pulang. Kami berpisah di perpustakaan karena letaknya di tengah kota.
Kurasa aku perlu berjuang kali ini. Aku tidak mau tertinggal lagi, karena aku akan keluar dari sekolah jika sekali lagi aku gagal. Semua dukungan Kirana tentu jadi sia-sia. Betapa bakal marahnya ia jika itu terjadi!
Di sisi lain, sulit bagiku untuk tidak mengikuti semua omongan Kirana yang memotivasi secara luar biasa. Dia jarang membiarkanku menganggur. Setiap aku punya waktu senggang, ia mengajakku tanya jawab Geografi. Ketika aku hampir tertidur di jam pelajaran Matematika, Kirana menggebuk mejaku hingga semua orang kaget. Tapi aku toh langsung cenghar.
Pak Surya menyumbangkan tiga keping coklat koin untukku. Nilaimu naik tiga angka untuk Matematika. Luar biasa. Pertahankan sampai kau lulus SMA.
Beberapa kerlipan mengunjungi tatapanku. Aku merasa bola mataku berbinar cerah.
Cerah. Mata Pak Surya benar-benar secerah pagi hari. Seakan ada matahari bertengger di sana. Ia menggenggam buku raporku. Setelah dua kali tercap tulisan TIDAK NAIK KELAS di sana, kini terstempel frasa terindah untuk masa ini: NAIK KELAS. Aku, Bintang, naik kelas!
Kirana, yang berdiri di sampingku, tersenyum bangga. Ia juga memeluk buku rapornya.
Kamu hebat, Bintang.
Itu karena kalian, Pak Surya, Kirana.
Pak Surya lantas berkata pada Kirana: Kenapa kau tertarik untuk memotivasi Bintang?
Kirana hanya menjawab tenang: Karena aku bulan. Bulan adalah sahabat sejati bintang.
Kami para lelaki kebingungan mendengar puisi singkatnya. Kirana lalu berkata bahwa ia tidak tega melihat Pak Surya karena terlalu pusing memikirkan aku.
Pak Surya terkikik dan berpandangan dengan Kirana. Untung saya bocorkan padamu ada seorang anak yang butuh perhatian lebih padamu.
Apa?
Tapi aku tidak sekedar ingin membuatmu naik kelas, Bintang, kata Pak Surya tanpa bisa kupahami. Kirana adalah teman yang luar biasa bagimu. Tidakkah pada matamu sekarang terlihat banyak bintang bertaburan? Kirana yang memberikannya bagimu.
Kirana dan Pak Surya saling tersenyum. Wah, persengkongkolan macam apa ini? Sejak awal mereka bekerja sama membantingku agar naik kelas! Jadi Kirana bukannya secara spontan tertarik padaku?
Bintang, asal kamu tahu, Kirana pernah sekali dua kali bilang kau sangat baik. Hei, aku tidak sekedar memberimu kenaikan kelas, 'kan?
Aku mengerjap. Kirana lalu keluar dari ruang guru. Pak Surya mengedipkan sebelah matanya. Aku segera paham maksudnya. Kutatap langit cerah di matanya sekali lagi, agar aku punya keberanian.
Kuhampiri Kirana, yang sedang tersenyum sumringah.
Boleh aku menjadi bintang bagimu? Akan kutemani kau di langit malam yang gelap itu.
Kirana malah menertawakanku. Habis-habisan. Tapi segera ia menghentikan kelakuannya dan menghambur padaku. Dipeluknya aku erat-erat. Perutku mulas tiada tara saking berdebar-debarnya.
Sinar bulan, kelap-kelip bintang, elegannya langit malam. Semua melebur saat kami saling menatap. Kini aku akan menemaninya. Selamanya, kuharap.